We’re moving! This blog will not be used anymore!

design proposal

Hi everyone,

This is both good news and sad news! The good news is that I’m happy to announce to you that I’ve just completed making a new personal website on wordpress.org so we will never see the annoying ugly-looking ads anymore in my posts that WordPress put on my blog.

I’ve been getting more and more traffic these days to this blog and since it’s a free blog and hosted on wordpress.com, WordPress automatically puts ads and more and more ads on this blog that I dont like it when I saw it incognito.

In order to remove the ads, I’ll have to upgrade to their subscription plan for around USD 8 per month and I’ll have the ability to monetize and choose which brands will suit my content to advertise on my blog, but that USD 8 per month is fricking expensive if compared to my self-hosted sites on wordpress.org (I’ve built more that one website on it and for much cheaper price and it’s easy to design).

I admit that it was my bad for not thinking and anticipating that this blog would grow like this. So now I have to start the analytics and growth from the start again with my new website; thatbrowngal.com .

However, I’m quite happy with it, I like having more control of the design and not having wordpress.com in my domain name, having wordpress.com is making it sounds like a scam. LOL.

I dont use my name anymore in order to avoid it interfering with my business website. I think “Brown Gal” represents me, not only my look but also my tropical life in Bali, haha. I actually wanted to use “girl” instead of “gal” but that domain is already taken by a cook, haha!

I designed this in only one day because it’s quite a simple blog design with not many variations of pages. The reposting and reuploading the content from this blog to the new one is the one that’s taking longer time (that I hired someone to do that for me, haha).

The sad news is to say goodbye to my followers on this blog. I know I dont have many people following me on this blog, just around a hundred, but that means a lot to me. I started this blog in early 2017 and I had no intention to make it a business, it’s more for me to share with the world. Because of this blog, I’ve had people came to me, messaged me directly how my writings have helped them in some ways, whether it’s about travelling, living in Bali, working online or getting through rough times.

Maybe many will miss this post and not aware if I already moved, I’m just hoping that Google algorithm will help you and more people to find me again.

I will not update on this blog anymore and will delete the blog for good soon. Please visit my new blog instead for more stories and reviews: thatbrowngal.com .

Mengajar bahasa Inggris ke ibu-ibu sosialita

Kalo gw menengok ke belakang tentang hidup gw, gw bisa ketawa-ketawa ngeliat pengalaman-pengalaman yang udah terjadi di hidup gw. Bisa dibilang, jalan hidup gw sejauh ini emang gak biasa, kadang pola fikir gw ini membawa gw ke pengalaman atau pekerjaan yang banyak orang gak kepikiran buat ngelakuin. Kalo orang cari kerja mengikuti pola yang umum yang ada di masyarakat, kalo gw selalu aneh-aneh aja. Karena basicnya emang gw ini pemalas, gw gak mau kerja keras, maunya kerja pintar; kerja dikit tapi penghasilan lebih gede (atau at least sama) dari yang kerja keras.

Salah satu pekerjaan yang pernah gw lakuin adalah mengajar bahasa Inggris. Kedengerannya biasa ya, yang gak biasa adalah target market gw. Kebanyakan orang mengajar bahasa Inggris buat anak-anak sekolah, atau paling banter mengajar di sekolah swasta yang mahal atau sekolah internasional, lalu sehabis itu dapat kerja tambahan dengan mengajar les murid-muridnya. Kalo gw, gw gak menyasar anak-anaknya, tapi gw menarget orang tuanya. Gw menyasar kalangan ibu-ibu kaya yang udah kebanyakan duit, pembantu dan waktu juga bapak-bapak bos. Karena, menurut gw, yang punya duit kan orang tuanya! Hehe. Dan juga, menurut gw, kalo mengajar anak-anak, saingannya banyak, banyak orang-orang yang mampu mengajar anak kecil. Tapi kalo untuk level adult, udah mulai sedikit. Apalagi untuk adult yang dari kalangan upper middle dan high class, makin gak ada! Gak semua orang bisa memasuki kelas sosial ini, kebetulan gw tau tips and triknya. Hehe.

Ceritanya saat itu gw udah berhenti bekerja dari pekerjaan tetap gw yang penghasilannya lumayan kalo untuk level Indonesia umur mid-twenties. Waktu itu gw mengalami quarter-life crisis dan di saat bersamaan gw tetep harus making money dong karena saving gw udah semakin menipis, so saat itu gw harus turun gaya hidup. Mau gak mau, gw harus cari kerja lagi. Saat itu gw tinggal di kota Bandar Lampung. Bandar Lampung itu terkenal sebagai ‘kota ruko’, artinya banyak SME (small-medium enterprises), yang mana efeknya adalah peluang kerja yang tersedia gak sebanding dengan tingkat pendidikan generasi gw yang sarjana. Kalo dulu, gw sih enak karena gw pindah karena penempatan kerja, jadi gaji gw bukan standar daerah. Tapi kalo lo memulai mencari kerja di Bandar Lampung, lumayan susah apalagi kalo lo bukan tinggal sama orang tua. Temen-temen gw banyak yang struggle untuk mendapatkan pekerjaan yang lumayan di Bandar Lampung, keuntungannya adalah mereka tinggal sama orang tua, jadi masih bisa nabung.

Karena gw adalah sarjana sastra Inggris dan juga pengalaman gw bekerja di organisasi internasional, menurut gw potensi gw saat itu untuk mendapatkan pekerjaan–di Bandar Lampung–yang paling cepat adalah mengajar bahasa Inggris. Jadi gw mulai melamar kerja guru bahasa Inggris di sekolah-sekolah dan tempat les, dari sekolah dan tempat les yang biasa sampai yang mahal di Bandar Lampung. Dari pengalaman gw mendaftar kerja sana-sini, ya gw keterima sih, malah kebanyakan tempat yang kaget waktu liat lamaran kerja gw, “Kok mau sih ngajar?”, karena gw dateng nganter lamaran kerja pun pake mobil gw dengan penampilan gw yang gitu deh (kalo temen-temen gw, atau kenal gw dari kuliah misalnya, mungkin ngerti maksudnya, hehe). Dari luar mah keliatannya gw parlente, padahal isi kantong gw saat itu terlunta-lunta, haha!

Kebanyakan sih gw keterima (padahal gw bukan sarjana keguruan), kalo ada tempat yang gak nerima gw, alasannya bukan karena kemampuan gw tapi karena mereka gak yakin gw bakal stay, karena melihat CV gw.

Awal-awalnya gw sempet juga mengajar anak-anak di tempat les bahasa Inggris kelas menengah ke atas, tapi gw gak mau lagi mengajar anak-anak karena banyak hal (salah satunya berhubungan dengan dampak situasi politik yang ada saat ini), mungkin gw akan bikin tulisan terpisah tentang itu, karena mengajar anak-anak memang malah mengajarkan gw banyak hal tentang hidup dan tentang diri gw sendiri.

Saat itu gw hampir bekerja di sekolah internasional di Bandar Lampung, gw udah melakukan training selama seminggu, setelah dijalanin seminggu doang, gwnya gak sanggup. Emang iya saat itu gw bener-bener butuh duit dan kerjaan tetap, tapi untuk pergi kerja jam 7 pagi (siap-siap dari jam 6 pagi), terus kerja sampe jam 2.30 siang (itu ngajar doang, belom rekap kelasnya) sampe rumah jam 4 sore dan cuma digaji 2,5 juta, duh rasanya gw gak sanggup! Kata temen-temen yang lain, harusnya gw bersyukur karena banyak orang yang berusaha keras jadi honorer di sekolah negeri selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun dengan gaji cuma 1 juta. Kata mereka seharusnya gw bersyukur dan bertahan aja karena nanti setelah beberapa bulan ngajar, bakal banyak panggilan untuk ngajar les ke rumah-rumah murid dan dari situ bisa dapat income tambahan lebih dari gaji. Perhitungan orang normal emang begitu ya, tapi perhitungan orang neko-neko kayak gw ya enggak gitu.

Pertama, gw butuh duit lebih cepat, gw gak bisa nunggu berbulan-bulan. Kedua, dari dulu–bahkan dari saat gw baru lulus kuliah–gw selalu menghitung ‘harga diri’ gw dengan hourly rate, sama seperti di luar negeri. Kalo gw kerja seperti itu, artinya gw menghabiskan 9 jam sehari, 44 jam seminggu, 176 jam dalam sebulan. Rp 2.500.000 dibagi 176 jam artinya gw hanya dihargai Rp 14.204,55/ jam. Kalo target penghasilan gw 5 juta, berarti gw harus nambah kerja berapa jam lagi dalam sebulan untuk ngedapetin uang 5 juta?? Itu artinya gw bakalan kehabisan waktu weekend dan waktu leisure di sore hari, ini namanya gw harus kerja keras bagai kuda, lama-kelamaan gw bisa jadi kuda beneran, hehe. Gaji guru dan guru les di kota-kota lain selain Jakarta (dan Pekanbaru) itu gak gede, kalo di Jakarta per session bisa Rp 350k (even more), kalo di kota seperti Bandar Lampung, bisa 100 ribu per murid aja udah syukur2! Lah 50 ribu per kelas buat bikin pinter anaknya aja masih banyak yang nawar! Sedangkan target gw, 100rb-150rb per murid.

Gw ngejabarin perhitungan di atas bukan berarti gw menghina/ merendahkan orang-orang yang gajinya/ pekerjaannya seperti itu, gw cuma menjabarkan aja pemikiran gw UNTUK DIRI GW SENDIRI. Menurut gw, life is a business. Kalo gw cuma dihargai 14ribu per jam, itu namanya bukan business, tapi busyness a.k.a “kesibukan”. Gw berfikir seperti itu karena gw yakin gw bisa lebih, gw harus mikirin peluangnya, peluang yang gak kepikiran sama orang lain, kalo udah ketemu peluangnya, baru gw mikirin caranya.

Bagi gw, kalo gw bisa keluar dari jebakan/ problem yang kebanyakan orang lain hadapi, maka suatu saat gw bisa menggunakan pengalaman gw buat berbagi dengan orang lain dan ngebantu mereka untuk keluar dari masalah. Tapi kalo gw juga mengikuti dan pasrah dengan terjebak di masalah yang sama, ya gimana gw bisa ngebantu orang lain.

So, gw melihat ke diri gw, apa sih potensi diri gw yang gak dimiliki saingan gw, selain kemampuan akademik gw. Well, banyak yang bilang muka gw ini belagu dan gw sering disangka orang kaya padahal gw cuma pake kaos doang (kaya monyet kali ya! haha!), bahkan di saat gw gak ada duit sama sekali pun gw masih disangka hidup enak, mungkin karena emang gak gw pungkiri, I like nice things. 

Gw mulai menyasar kelas sosialita, karena mereka bisa bayar gw seharga yang gw mau dan saingan gw gak banyak. Yang namanya business, lo harus mengikuti behaviour target market lo dan analisa, “where do these people hang out??”

Karena target market gw sosialita, tau gak dimana ibu-ibu kaya ini berada (selain makan siang di kafe-kafe lucu mehong)?? Jawabannya adalah, di kelas gym exclusive sekelas CelFit ke atas! Di Lampung saat itu gak ada CelFit, tapi ada gym yang sekelas itu juga, biaya bulanannya lumayan mahal. Mau gak mau, gw harus ikutan ngegym disana juga, ini anggap aja biaya promosi atau the fee of doing business, you can’t make money without spending money. 

Karena gw emang suka aktif (kayak ngedance, yoga, dll) jadi ya gw sih suka-suka aja. Yang berat saat itu adalah untuk bayar modal awalnya, tapi saat itu gw dateng dengan muka belagu. Terus sama marketingnya, gw gak nunjukin kalo gw mau, jadi gw dikasih diskon! Haha!

Target market kelas ini, gak sembarangan orang bisa masuk, mereka mau orang yang sekelas mereka juga, or at least gak keliatan kayak orang susah or butuh duit (padahal sebenernya mah gw butuh duit banget!). Dengan background pekerjaan gw sebelumnya dan penampilan gw yang fake-it-til-you-make-it (untuk hal penampilan, gw dibawa gembel bisa, tapi saat gw ngegaya, gw bisa banget juga). Gw berhasil mendapatkan beberapa murid, ya si nyonya-nyonya besar. Lingkungan sosialita di Bandar Lampung itu kecil dan latah, kalo si A kelas yoganya sama trainer ini, si B, C, sampe L juga ikutang ngebooking guru yoga itu.

Disitu gw mulai ngajar ke rumah-rumah gedongan, untung aja gw pake mobil datengnya, hehe. Seringnya gw takjub ngeliat rumah mereka kok kayak istana, ada ya orang sekaya itu di Lampung. Di dalam rumahnya ada gym lengkap dan bioskop mini, belom lagi ruang belajarnya, kebanyakan mereka ini usaha kopi dan lada (Lampung emang penghasil kopi).

Kalo guru bahasa Inggris normalnya pergi ngajar dengan celana bahan dan kemeja, gw pergi ngajar dengan mini circle skirt dan stocking bunga-bunga pastel, jaket jeans dan tanktop, gw gak boleh kalah modis dari mereka in order to keep them enthusiastic of me. Lokasi mengajar juga gak selalu di rumah, tapi bisa di kafe-kafe lucu, sambil praktek bahasa Inggris untuk kebutuhan travelling.

Masalah kemampuan sih mereka beginner abis, dan namanya ngajar emak-emak, malah lebih susah nangkepnya ketimbang anak-anak! Hehe, jadi bisa dibilang sih gw itu cuma ngegunain gak sampe 10% dari kemampuan gw, yang mana gw gak suka kayak gini, ini gw akui bukan pekerjaan yang bikin pinter, tapi kalo butuh duit sih lumayan.

Mereka juga les ini-itu bukan karena mereka butuh, kadang juga alasannya karena trendy aja gitu belajar les ini-itu, haha! Malah murid gw ini kebanyakan les, abis les sama gw, les juga di tempat lain sama bule, terus belom lagi kelas aerobic, ngedance, yoga dll, maklum lah orang kaya mah waktunya banyak!

Bisa dibilang strategi gw berhasil dalam waktu singkat itu, gw bisa menghasilkan lebih dengan kerja gak full seminggu. Terus gw mulai mendapatkan tawaran mengajar buat anak-anak mereka, dan buat di kantor suami-suaminya.

Mengajar emak-emak sosialita ini, kebutuhan mereka berbeda dengan anak-anak dan professional. Mereka butuh either buat travelling atau buat show off semata, haha! Cara mengajarnya pun beda, harus diselingi gosip selebriti dan sekitarnya biar mereka cepat nangkapnya. Contohnya, ketika gw mengajarkan bagian dan ciri-ciri tubuh, gw menjelaskan dengan foto seleb before and after surgeries! Dengan begitu gw bisa mengajarkan mereka present tense dan past tense. Foto-foto instagram selebriti lokal seperti Syahrini contohnya, adalah materi kelas gw, haha!

Walau pun sebenernya karir gw saat itu sebagai guru bahasa Inggris sosialita di Lampung lagi naik daun dengan singkat, tapi gw akhirnya pindah meninggalkan Lampung karena emang pure gw ngelakuin itu cuma untuk survive and save money. Gw udah tau apa yang mau gw pursue. Dan gw menemukan itu karena pengalaman gw mengajar anak-anak.

Kalo dari masalah kepuaasan dalam mengajar, menurut gw yang paling emotionally rewarding adalah mengajar anak-anak dari kelas sosial bawah dan di desa-desa. Tapi sayangnya gw belum financially mampu buat ngelakuin itu sekarang, gw butuh duit dulu buat gw bisa bener-bener berbagi untuk orang lain tanpa kepikiran gw makan apa besok, you can’t help others with what you don’t have.

Gw mengajar emang gak lama, tapi banyak banget pelajaran yang gw dapet selama pengalaman gw mengajar, baik mengajar kids and adults. Gw salut banget sama para guru yang emang mengajar dari hati (bukan karena gak ada pilihan lain ya), yang mereka gak mengedepankan penghasilan mereka dalam bekerja, yang berusaha semaksimal mungkin mencari cara untuk transfer ilmu secara optimal padahal mereka belum tentu jadi guru tetap, yang bekerja tulus tanpa hitung-hitungan dibayar berapa per jamnya, dan lain-lain, karena gw sendiri gak sanggup untuk melakukan itu. Kudos for all the teachers!

Cari kerja di Bali, susah gak sih?

_DSC0207

Banyak orang yang kepingin pindah ke Bali karena banyak hal, gw salah satunya dan gw udah pindah ke Bali dari awal tahun 2019 ini. Masalah pekerjaan adalah pertimbangan hampir semua orang ketika akan pindah daerah tempat tinggal. Yang mau tinggal di Bali sih banyak, tapi banyak yang takut bakal susah cari kerja di Bali.

Tahun lalu, gw udah sempet tinggal di Bali juga selama hampir 6 bulan, namun cuma buat kursus. Sedangkan kali ini gw emang beneran pindah untuk settle down, gw udah nemuin daerah mana di Indonesia yang gw paling betah, jawabannya Bali. Gw gak niat pindah kemana-mana lagi untuk lingkup dalam negeri. If I leave Bali someday, it has to be abroad.

Sehabis gw selese kursus di Bali, gw emang berniat untuk pindah ke Bali dengan lebih permanen. Jadi gw udah ancang-ancang untuk pindah ke Bali itu udah lama. Pertama gw harus udah punya cukup uang tabungan, kedua gw harus udah punya penghasilan stable sebelum gw pindah ke Bali (mau kerja online sama orang yang tinggalnya di Bali kek, atau freelance online kek, pokoknya gw harus udah tau minimal gw punya penghasilan berapa tiap bulan. Standar kenyamanan setiap orang berbeda-beda, in my case, gw harus punya penghasilan at least 5 juta per bulan).

Banyak orang yang langsung nekat dateng aja ke Bali tanpa modal jaminan pekerjaan apa-apa. Adeknya temen gw ada yang bermodal keahlian makeup dan sekarang dia udah hidup enak, awalnya dia kerja di salon dan bener-bener memulai dari bawah.

Well, kalo gw orangnya gak senekat itu ya bok, so sebelum gw pindah, penghasilan gw udah stable di zona nyaman gw dengan gw kerja via remote. Karena gw seorang freelancer dan pemasukan gw dalam dollar, mungkin kasus gw agak berbeda dengan kebanyakan orang, karena gw gak bergantung dengan harus dapet pekerjaan di Bali apa enggak. Namun salah satu income gw adalah dari bule yang tinggal di Bali. Dan karena Bali adalah pusatnya digital nomad, justru gw semakin berkembang di Bali, beberapa  kerjaan gw dapet dari network di Bali.

Walopun begitu, gw sempet juga kok ngelamar pekerjaan di Bali, justru sebelum gw pindah ke Bali, gw udah dipanggil wawancara ke 10 pekerjaan baik di perusahaan garmen yang cukup besar dan usaha perorangan. Hampir dari semua pekerjaan ini gw gw berhasil lolos mendapatkannya, tapi gwnya sendiri yang gak mau ambil pekerjaannya in the end, alasannya karena gw merasa gajinya gak sebesar penghasilan gw selama ini. Sebenernya gajinya dibilang kecil ya gak juga sih (kalo untuk tinggal di Bali), tapi kalo kerja online, gw bisa mendapatkan lebih dan grafiknya bisa naik dengan jumlah jam kerja gw yang gak menuntut tiap hari dateng ke kantor. Darimana gw mendapatkan info pekerjaan-pekerjaan ini?? Semuanya dari online, mostly Facebook. So, kalo kalian mau ancang-ancang juga, bisa dimulai dari gabung grup-grup Bali di Facebook dan follow akun-akun loker Bali di Instagram.

Berdasarkan pengalaman dan pengamatan gw tinggal di Bali, kalo ada yang tanya apakah tinggal di Bali susah cari kerjanya, jawaban gw adalah “TERGANTUNG”.

Waktu gw masih kursus dulu, banyak kenalan gw yang orang Indonesia dan asli Bali malah mengeluh susahnya cari kerja di Bali. Dan mereka kaget ketika gw malah full-booked panggilan wawancara, dan malah dapat tawaran kerja langsung dari business owners di Bali. Kalo aja gw mau kerja yang harus datang ke kantor tiap hari, menurut gw, gw gak akan kesusahan cari kerja di Bali. Bisa dibilang hal ini karena skill gw dan kepribadian gw ini ‘lebih menjual’ di Bali (kalo lo baca tulisan-tulisan gw yang lain, lo bakal ngerti, hehe. Jangankan masalah kerjaan, masalah jodoh pun gw lebih menjual di Bali! Haha!). Gw gak seperti ini di semua daerah, daerah-daerah seperti Sumatra Barat dan Aceh adalah tempat dimana gw yakin gw bakalan susah banget dapet kerjaan. Jadi, bisa dibilang, kita harus riset dulu apakah daerah tujuan kita tsb mempunyai peluang untuk diri kita, karena peluang tiap orang itu beda-beda, bukan berarti dia bodoh, tapi mungkin karena dia tinggal di tempat yang kurang tepat, yang gak mendukung dia untuk berkembang, gak sesuai dengan keahlian dia, atau gak membutuhkan skill yang dia punya.

Menurut gw, peluang kerja di Bali itu masih besar, apalagi kalo lo bisa bahasa Inggris dengan baik. Tapi perlu diingat, kalo lo berasal dari Jakarta, lo bakal ngerasa gajinya turun banget, karena UMR di Bali gak besar, apalagi kalo dibandingkan dengan Jakarta (yaeya lah bro…), tapi biaya hidup di Bali juga gak se-gila di Jakarta dan gak banyak stressnya! Hehe. Biasanya, business owners justru lebih memilih orang dari luar Bali, karena jujur aja, SDM di Bali itu masih kalah kualitasnya dibanding pendatang (ya dimana-mana hampir gitu juga sih. Gw pernah tinggal di Pekanbaru, dan same case banget. Penjajah emang lebih maju dari lokal, hehe). Gw sendiri udah beberapa kali lho ditawarin kerja buat jadi manager villa di Bali, dan gajinya lumayan (kalo mau gaji lumayan, kerjanya sama bule! Hehe)

Tapi hal ini berlaku untuk jenis pekerjaan yang gak berhubungan dengan negara/ pemerintah dan perusahaan besar (skala internasional), ya! Bukan mau mematahkan semangat, tapi jujur aja, kalo lo terbiasa kerja kantoran seperti di bank, atau malah dokter sekalian pun, justru lo bakal susyah bener cari kerja di Bali. Ada temennya temen gw yang seorang dokter dan itu dia sampe ngemis-ngemis sambil nangis lho buat cari kerja di Bali, bahkan dokumen lamarannya aja dianggurin gitu aja! Hal ini karena di Bali gak banyak ada perusahaan dan peluang seperti ini, jadi peluang kerja di perusahaan yang berhubungan negara lebih diutamakan diberikan kepada putra dan putri daerah. Kebanyakan orang dari luar Bali yang bisa kerja di perusahaan/ bank adalah karena penempatan dari lokasi sebelumnya, bukan karena pure mendaftar kerja di Bali.

Terus juga kalo lo bercita-cita kerja di perusahaan multinasional (misal sebagai insinyur), kalo lo nyari kerja ke Bali, itu namanya salah alamat. Walo pun lo punya skill dan degree yang cukup, kalo lo mau kaya, jangan ke Bali, ke Pekanbaru, Batam, Kalimantan atau Papua sekalian, hehe. Di Bali, kalo mau kaya, kerja di bidang kreatif atau hospitality (pariwisata). Makanya orang kayak gw cocok di Bali. Ini dua bidang yang paling ‘megang’ di Bali. Mungkin memang memulainya dengan gaji yang gak seberapa besar, tapi lingkungan di Bali itu kecil. Kalo lo bagus di tempat kerja lo dulu, lo bakalan diincer sama business owners yang lain. Tapi balik lagi ya, apakah lo cocok dengan pekerjaan seperti ini? Dalam artian, yang namanya kerja sama orang (bukan sama perusahaan besar) gajinya emang lumayan dibanding kerja di perusahaan negara, tapi lo harus inget kalo lo gak bakal punya pensiunan. Jadi balik lagi sih, lo orangnya gimana. Kalo gw sendiri, gw udah yakin sama pilihan gw. Menurut gw lebih baik gw gak punya jaminan pensiunan tapi penghasilan gw besar, karena nanti gw bisa bikin passive income buat hari tua gw nanti, sedangkan kalo gw cuma bergantung dengan iming-iming pensiunan, it means gw hidup selama masa kerja dengan terseok-seok.

Mungkin, kalo perbandingannya sama kota-kota besar, bisa dibilang lo harus limit ekspektasi penghasilan lo. Menurut gw sih, conclusion dari tulisan gw ini, kalo lo mau sekedar cari kerja di Bali, jawabannya bisa. Kalo mau kaya, masih bisa, tapi tergantung bidang. Kalo mau jadi kaya banget, well, susah sih. Tapi balik lagi, mana yang lo pilih, lo butuh cukup tapi nyaman atau berkelebihan tapi gak nyaman??

**

Pingin pindah ke Bali tapi belum tau biaya hidup di Bali? Baca postingan aku yang ini!

Note: Makasih udah maen ke blog aku yang ini. Blog ini udah gak dipake/ diupdate lagi. Untuk tulisan-tulisan terbaru aku tentang kehidupan di Bali, kerja online dan review produk, check di blog baru aku ya: thatbrowngal.com 🙂

Checking the checklist of 2019

IMG_20190328_154900Time flies so fast! I cant believe it’s already May and we’ve passed almost the first semester of 2019! I’ve been pretty stoked with work and life recently that I didn’t post on this blog as often. At the beginning of this year–as always–I made a checklist of my action plan. Let’s see how many of them are already checked or in progress:

  • 1. Build my portfolio website (design and content)

Status: DOING (in revision). I finished my first design in January then decided to totally change it again from the design and content as I’ve known more about the kinds of jobs that I’d like doing. Take a look at my brand new design HERE, I’ve been getting many compliments on it!

  • 2. Put some content to the web that’s related to my service (content marketing)

Status: DOING (in revision). Due to the change in my content, the articles I’ve made before are not relevant anymore and I need to make new content.

  • 3. Offer more service exchange (my web design for others’ copywriting skills)

Status: DONE. No more service exchange, I’ve had enough experience already.

  • 3. When content is ready, set up an email list (email marketing)

Status: To-Do, still untouched.

  • 4. Create some affiliate links to new and existing posts

Status: To-do, still untouched.

  • 5. Draw more digital illustration project for portfolio

Status: Started, in progress. I’ve re-colored my illustration Instagram page with my color theme.

  • 6. Apply to more gigs directly or through freelancing sites

Status: Started. I’ve been getting a steady number of work regularly recently.

  • 7. Set up accounts on other 3 more freelancing sites

Status: Started. Made only one so far.

  • 8. Create digital products to sell (templates, icons)

Status: To-do, in June the longest.

  • 9. Learn how to create a WordPress template

Status: To-do, untouched.

  • 10. Learn more about branding

Status: To-do

  • 11. Complete 200hr YTT

Status: Done in April 2019!

  • 12. Yoga practice at regularly, at least three times a week

Status: To-do

  • 13. Start to teach yoga classes

Status: To-do

  • 14. Take/ continue my patternmaking class

Status: To-do

  • 15. Learn more about technical fashion design

Status: To-do or maybe postponed. Because I have more priority now in graphic design as it’s been making more money for me.

  • 17. Master Pinterest marketing

Status: To-do

  • 18. Publish at least 12 Youtube videos on my Youtube channel

Status: Started. OMG, I only have made 1 video so far! It’s sponsored by one of the main online marketplaces in Indonesia. So proud!

  • 19. Upload around 2 videos of my sewing process (for gowns)

Status: To-do

  • 20. Apply for an internship to apparel manufacturers in Bali

Status: Done, but no continuation from their side, I also don’t think I will have time. I have many other things to learn now.

  • 21. BETA on my own Pinterest account

Status: To-do

  • 22. Reach out to people

Status: Started. Wow life has been great since I moved to Bali and networked with people. Been getting more clients from referrals!

  • 23. Move to Bali more permanently and research on business opportunity (for me and my BF)

Status: Started. One of the best things happened this year! I moved in March!

  • 24. Travel abroad (at least to Thailand)

Status: Still planning, not sure. 

  • 25. Buy fancy gifts for my parents

Status: To-do

  • 26. Open custom-orders in Bali

Status: Kicked out from the list. Not possible to do anymore. I’ve been busy with other things.

  • 27. Take my BF to a super nice date/ buy him a fancy gift

Status: To-do, OMG his birthday is approaching!!

  • 28. Buy a decent laptop/ travelling backpack that doesn’t hurt my back and fits my 15.6 inch tablet

Status: Done! Bought my brother’s Kathmandu Backpack that I really love the most. It’s the most expensive bag I’ve bought!

  • 29. Take a graphic design mentorship course

Status: To-do. 

  • 30. Buy an iPad Pro 12 inch + Apple Pen

Status: Maybe imagination. LOL!

  • 31. Upgrade my Mac’s RAM to 8 GB

Status: Done in January, best decision ever!

  • 32. Have a proper VPN service for work

Status: Kicked out from the list, at least for now.

Enak-gak-enaknya kerja online dari rumah

IMG_20190328_155123

Gw berhenti kerja dari tempat kerja gw di tahun 2016 dan semenjak saat itu, hanya dalam waktu sesingkat ini, udah banyak banget yang terjadi di hidup gw. Mungkin gw udah lebih banyak mencoba banyak hal ketimbang orang-orang yang lebih tua dari gw. Setelah berhenti kerja, gw gak langsung memutuskan untuk kerja dari rumah, gw sempet kerja juga di antaranya dan buka usaha ini-itu, sampe ke trading Bitcoin segala (yang berhasil membuat gw gak perlu kerja selama 6 bulan, karena hidup gw udah tercover dari Bitcoin). Gw udah mulai freelance online di kancah internasional dari pertengahan tahun 2018, cuma baru serius banget setelah gw pulang dari Afrika Selatan saat itu, karena sebelum-sebelumnya, hidup gw kepenuhan jadwal jalan-jalannya, jadinya gw gak bisa fokus. Ya rezeki juga sih bisa jalan-jalan terus, jadi disyukuri aja hehe…

Semenjak tahun 2018, pekerjaan yang gw dapat selalu remote atau partly remote, yang mana artinya gw gak harus pergi ke kantor setiap hari dan meeting kebanyakan dilakukan via online communication. Sebelum tahun 2018, gw udah mulai kerja online juga tapi hanya sambilan. Kalo sekarang sih gw udah fixed jadi pegawai negeri dunia maya.

Kerja dari rumah ini ada enak dan gak enaknya. Well, dimulai dari yang gak enaknya dulu ya…

  1. Disangka pengangguran! Haha, deritanya orang yang kerja dari rumah yang paling sering adalah sering disangka gak punya penghasilan dan cuma menjadi beban keluarga. Padahal penghasilan kita bisa jadi di atas kebanyakan orang yang kerja rapih-rapih berdandan pake parfum Prancis dan bibir merah bergincu. Apalagi kalo ketemu orang datang ke rumah dan kita belum mandi, karena dari bangun tidur udah langsung kerja dari atas tempat tidur.  Orang yang baru pertama kenal gw sih pada nyangkanya gw ini masih anak kuliah (padahal udah 7 tahun lulus bok!), jadi mereka wajar kalo liat gw santai-santai. Tapi kalo udah yang udah kenal gw (misal saudara), mereka nyangkanya gw ini frustasi dan cari kerjaan (kantoran), trus ada yang nawarin jadi honorer sana-sini dengan gaji yang wasalam aja. Aduh, cuma bisa bilang makasih…

2. Lack of social interraction.

Kerja online, kita berinteraksi dengan client atau team yang kadang malah gak pernah ketemu muka sama sekali. Kebanyakan komunikasi hanya via email, chat atau paling muluk video call. Gak ada yang namanya pergi makan siang bareng temen kantor, haha! Berhubung jarang ketemu orang, bisa mengurangi intrapersonal skill kita, apalagi di situasi yang membutuhkan basa-basi. Kemampuan berbasa-basi itu gak semudah kedengarannya, bagi gw itu sulit. Semenjak gw kerja dari laptop, menurut gw semakin sulit! Solusi: kadang-kadang kerja di coworking space biar ada temen.

3. A whole different world.

Kerja online itu bener-bener sesuatu yang beda dari kerja kantoran, toolsnya beda, dari cara ngelamar kerja sampe how to get paid aja bener-bener beda. If you’re new, you need to learn a lot of things and mostly about tech, jadi agak susah kalo buat orang yang gaptek. Belum lagi, yang namanya kerja yang berhubungan erat dengan internet, semuanya cepat berubah, jadi lo harus punya kemampuan untuk mengejar perubahan-perubahan yang terjadi. The concept of comfort zone doesn’t exist.

4. Gak ada motivator.

Kerja kantoran bisa memotivasi kita in some ways ketika melihat teman sekantor lebih gigih daripada kita, sedangkan kerja dari rumah kita gak punya perbandingan selain diri kita sendiri. Kerja dari rumah cocok buat orang yang emang semangatnya tinggi dan enggak bergantung ke orang lain untuk memotivasi dirinya, gak semua orang punya kemampuan seperti ini, makanya kerja dari rumah gak cocok untuk semua orang.

5. Gangguan dari keluarga.

Kadang, anggota keluarga sering menganggap enteng jadwal kita, karena disangkanya hanya karena kita bisa kerja dari mana aja, kita disangka punya fleksibilitas tinggi, jadi sering diajak ke pasar lah, ke rumah sodara lah selama berjam-jam, etc etc. Menurut gw, kerja online itu enak asal gak tinggal di rumah keluarga, kecuali keluarga lo punya tingkat pemahaman yang mumpuni tentang pekerjaan lw.

6. Kemampuan Bahasa Inggris yang mumpuni.

Kalo kerja kantoran, kebanyakan kita berhubungan sama kolega dan client sesama orang Indonesia. Kalo kerja dari rumah, kalo mau banyak duit sih ya cari client bule! Jadi harus punya kemampuan bahasa Inggris yang mumpuni apalagi kalo statusmu freelancer, bukan remote employee. Lo harus punya kemampuan meyakinkan orang lain, negosiasi, menjual diri dalam bahasa Inggris, bukan cuma grammar.

7. Time difference.

Kalo clientnya banyak dari luar negeri, so bersiap-siap lah buat sometimes you need to have a call at 12 am or 1 am. Tapi sebenernya itu bisa diakalin kok, karena gw sendiri cuma beberapa kali dalam sebulan kedapatan video call di waktu-waktu tidur.

8. Disangka kerja yang enggak-enggak.

Susah ngejelasin ke orang apa profesi lo kalo lo kerja online, karena orang-orang–especially the older generation–masih banyak yang awam or know little to nothing gimana caranya orang belum cuci muka kok bisa dapet gaji terus. Mereka gak ngerti kok bisa dari kamar tidur (atau malah tempat tidur doang) bisa dapet duit. Bisa jadi disangka yang enggak-enggak, ya maen judi bola lah, atau malah jadi sugar baby! Hwaks!

***

Sekarang bagian yang enaknya:

  1. Income dan working hours kita yang atur.

Kalo kerja kantoran, ada batas fixed berapa gaji yang bisa kita dapatkan walopun udah kerja lembur bagai kuda. Sedangkan kerja dari rumah lebih fleksibel. Penghasilan gw yang terbesar adalah semenjak gw kerja dari rumah. Jujur aja gw itu kerjanya sehari cuma berapa jam kok, selebihnya gw belajar skill baru. Dan gw juga gak ngoyo2 banget cari duit, kalo menurut gw udah cukup di standar kenyamanan gw, gw bakalan gak kerja di hari-hari selebihnya selama sebulan itu. Kadang gw kerja abis-abisan selama 2 bulan, untuk 1 bulan setelahnya gw gak kerja sama sekali. Di 1 bulan itu gw belajar skill baru buat nambah rate gw kedepannya.

2. Skills yang bisa dibawa kemana aja.

Gw percaya diri dengan kemampuan yang gw peroleh sekarang untuk dibawa tinggal di daerah mana aja. Dulu gw kerja kantoran selama bertahun-tahun, tapi setelah berhenti gw gak yakin kalo mau pindah kota atau malah negara, apa skill yang gw dapatkan dari kerja bertahun-tahun itu bisa dijual di negara lain? Abang kandung gw adalah manager sebuah bank ternama di Indonesia selama 5 tahun, ketika pindah ke Australia, that experience doesnt count at all, kalo dia mau memulai karir disana, harus dimulai dengan either having a degree from internationally reputable university atau memulai dengan kerja blue collar kayak waiter dll. Kerja dari rumah–apalagi kalo client lw internasional–artinya skills lo bisa dibeli dan dibutuhkan orang mana aja.

3. Bisa kerja dari mana aja (selama ada internet).

Bayangin betapa susahnya orang-orang buat daftar pindah kerja di kantornya buat deket dengan suaminya. Buat orang seperti gw yang kerja dari laptop, gw gak perlu takut tuh untuk kehilangan client base dari daerah tempat tinggal gw dulu kalo gw mau pindah ke daerah/ kota/ negara lain, karena client gw dari berbagai negara. Gw bisa aja pergi ke luar negeri buat jalan-jalan sambil nyambi kerja. Atau bulan Januari gw tinggal sama orang tua gw di Sumatra Barat, selanjutnya di Bali, bulan depannya ke Jakarta. Gw bisa kerja sambil nikmatin hidup. Ketika orang-orang butuh nunggu waktu cuti buat bisa ngerasain jalan-jalan, gw bisa pergi kelas yoga di pagi hari, kerja siang hari, dan sorenya ke pantai. Atau full weekend jalan-jalan menjelajah Bali. Namun gak semua kerja online bisa sebebas ini, banyak juga pekerjaan yang partly remote; yaitu yang gak mengharuskan lo buat pergi ke kantor tapi dibutuhkan untuk tinggal di kota yang sama. Jadi tergantung pilihan masing-masing sih.

4. No Basa-basi

Menurut gw, kerja ketemu langsung itu malah lebih banyak indirectness nya ketimbang kerja online. Negara kita kebanyakan suka gak enakan buat menyampaikan pendapat, jadi banyak sindir2an gak jelas dan gak langsung. Sedangkan dalam komunikasi online, orang-orang butuh message untuk ditangkap dengan cepat, gak pake basa-basi.

5. Market dan network yang lebih luas.

Hal ini yang membuat gw gak mau bikin baju lagi karena bergantung pada market suatu daerah tertentu. Bayangin, kalo lo kerja di Indonesia di kota tertentu, pasar yang bisa lo jangkau hanya orang-orang di daerah itu aja. Tapi kalo online di market internasional, bayangin berapa banyak negara yang memakai bahasa Inggris di dunia, at least 114 negara (berdasarkan buku Lonely Planet).

6. Hemat biaya penampilan dan transportasi.

Karena kerja dari rumah, jadi kita bisa kerja pake baju tidur aja. Gak perlu buang-buang waktu buat ngegambar alis segala dan terjebak macet. Salah satu alasan kenapa gw mau kerja online adalah karena gw gak mau tua di jalan; mulai kerja jam 8 pagi tapi harus berangkat kerja jam 7 pagi dan siap-siap dari jam 6 pagi, baru pulang kerja jam 5 sore, sampe rumah jam 6 sore. Berarti ada 3 jam waktu dari hidup gw dalam sehari yang terbuang sia-sia, sedangkan 3 jam itu bisa gw manfaatin buat cari duit! Itu baru sehari, belom kalo seminggu, sebulan, setahun, sewindu! Gw juga gak suka pake makeup full, paling mentok lipcream sama bedak Marck’s. Males banget kalo gw harus buang-buang duit beli foundation terus abis itu beli cream anti aging atau perawatan kulit mahal-mahal karena tiap hari kulit mukanya gak bisa nafas karena ketutup makeup!

7. Gak perlu persyaratan edukasi formal atau penampilan

Melamar kerja kantoran, at least lo harus tamatan pendidikan tertentu dan nilai IPK tinggi. Bahkan, di pekerjaan tertentu, ada yang surat lamaran kerjanya baru diperiksa kalo tinggi badannya minimal 155 cm (dan ini bukan posisi pramugari lho!), hwaks, apaan coba. Kerja online is a new different game, it’s all about showing you can do the work. Mau tubuh lo cacat kek, asal lo bisa ngerjain, ya lo bisa kerja. Gw udah lama banget gak daftar kerja ke kantor/ usaha dalam negeri, jadi gw sempet kagok waktu kemaren gw sempet iseng ngelamar kerja di perusahaan garmen dan salah satu bagian dari tesnya adalah psikotes, trus yang ngereview tes psikotes gw nanti adalah anak-anak umur 20an yang baru lulus kuliah kemaren. Testnya sampe berproses-proses dan ternyata gajinya not even half of my income working online. Waktu pergi tes, peserta lainnya pake baju kemeja rapih banget dan celana dasar, terus gw dateng pake celana jeans dan tanktop doang dong, in the end, resultnya gw tetep diterima sih (walau pun gw datang a la preman), tapi gw gak sanggup turun gaya hidup! Hehe.

Bali I’m back : Yang berubah dari Canggu

Once again I’ve checked one of my 2019 goals, this time, it’s moving back to Bali!! YEAY! Tahun lalu gw sempet tinggal di Bali selama 5 bulan waktu lagi ngambil kursus fashion design, lalu gw meninggalkan Bali selama setahun dan selama setahun itu gw melalang buana di dalam dan luar negeri (my first international travels! Tiga benua sekaligus! haha!). Kalo dulu, gw di Bali hanya untuk belajar (ya I made money online juga sih) dan kalo sekarang gw kesini kerja. So, feelnya agak beda. Begitu juga dengan kalo kamu liburan di Bali yang cuma beberapa hari/ minggu ketimbang dengan beneran tinggal disini for long term. Maka itu lah section Bali Story hadir di blog gw ini, karena ternyata semenjak gw bikin tulisan tentang Bali, traffic ke blog gw naik drastis! Tandanya apa?? Berarti banyak orang Indonesia yang lagi menimbang-nimbang gimana sih rasanya pindah dan hidup di Bali (if you’re not a Balinese).

Dulu, gw tinggal di daerah Denpasar. Daerah Denpasar adalah daerah yang lokal banget dibanding daerah-daerah lainnya di Bali, you hardly find a bule there! So, harga kosannya jauh beda. Dulu pas gw tinggal di Denpasar, gw suka melalang buana ke daerah-daerah lain termasuk Canggu, dan gw rasa saat itu gw suka banget sama vibenya Canggu. Di kalangan turis domestik emang daerah Canggu ini masih belom kedengaran ya saat ini, tapi di kalangan turis internasional–apalagi kalangan travel influencers–Canggu ini kawasan wajib banget lah untuk dikunjungi!

27575703_1655869021173631_3205222870531702784_n

Love Anchor, Canggu, Bali.

Canggu mempunyai suasana yang berbeda dibanding Ubud yang terlalu spiritual atau Kuta yang terlalu party dan tourist-centric. Canggu adalah gabungan dari keduanya, dekat dengan pantai dan juga termasuk pusat studio-studio yoga keren, seperti Samadi Bali, Serenity, The Practice, Desa Seni, dll. Canggu berkembang pesat setelah bom bali yang menyerang Kuta, sama seperti Ubud. Dulu sebelum tragedi bom Bali, wisata terpusat di daerah Kuta dan Canggu dan Ubud cuma sawah-sawah aja yang banyak membentang dan belum ada cafe-cafe bertebaran seperti sekarang. Dalam 10 tahun, Canggu dan Ubud berubah pesat, bahkan bule yang udah 15 tahun tinggal di Bali pun kaget. Karena dulu mereka ke Canggu waktu Canggu/ Ubud masih desa abis, dan tiba-tiba sekarang udah jadi hips banget dan digadang-gadang menjadi the next Kuta. Harga tanah disini pun naik drastis, orang-orang mengkonversi tanah miliknya menjadi sewa atau ruko dalam sekejap.

Gw ke Canggu setelah Canggu sudah berkembang, apalagi di daerah sekitaran Echo beach. Tapi saat itu masih banyak ditemukan sawah-sawah yang berpadu padang dengan bangunan-bangunan artistik khas Canggu. Belum lagi Canggu adalah salah satu pusatnya para digital nomad, so cocok banget untuk orang seperti gw dan pekerjaan gw yang bergantung pada networking. Atas dasar itu, gw berminat, jika nanti gw balik lagi ke Bali, gw akan tinggal di Canggu.

Setelah setahun meninggalkan Bali dan menetap di daerah Canggu (at this moment), jujur gw shocked melihat perubahan Canggu! Terlalu banyak lahan yang dikonversi untuk tujuan komersil yang belum tentu bersifat jangka panjang. Dulu di sekitaran Echo beach masih banyak sawah, sekarang jumlahnya bisa gw itung pake jari! Secara ekonomi, memang perkembangan daerah Canggu ini membawa dampak yang positif karena warga lokal jadi meningkat incomenya. Dalam jangka panjang, hhhmmm… I dont know. Because these people can leave anytime they want when they think the place is not hype anymore, the one who stays with the damage will be us, the locals.

In terms of the vibe, juga ada sedikit perubahan, masih tetep laid back sih, namun sekarang agak pretentious, terlalu banyak social influencers atau Instagram-star-wannabes. Memang bener, yang bikin betah di suatu tempat adalah orang-orangnya, kalo vibe orang-orangnya udah gengges, bisa bikin tinggal disana jadi gak nyaman.

Gw udah cukup punya pengalaman di coworking space atau tinggal di Canggu, jadi gw gw bisa spot mana orang-orang yang faking to be a digital nomad padahal cuma jalan-jalan doang dan dibayarin orang tua, sama orang yang bener-bener bekerja. Orang yang beneran bekerja biasanya doesnt look fancy atau sering ke tempat-tempat yang lagi happening, beda dengan the wannabes yang gw juga heran ini orang-orang kerjanya gimana kok cuma maen-maen sama anjing dan taking and editing selfies aja. Makanya gw menjauhi daerah Batu Bolong untuk tempat tinggal, kentel banget aura pretentiousnya!

Selain dari itu, I’ve found no problem so far. And I’m just so glad that I live in Bali, nothing can really annoy me much!!

Menambah umur Macbook Pro dengan upgrade SSD dan RAM

Be weekend warriors.

Hidup gw sangat bergantung dengan laptop karena gw nyari uang dengan laptop dan gw ada di depan laptop kurang lebih 8-12 jam sehari (buat kerja, belajar, menghibur diri dll), jadi performa laptop sangat penting buat gw. Namun sayangnya keinginan tidak selalu berimbang dengan kemampuan, pinginnya sih punya laptop baru, tapi gak sanggup kalo mau ngeluarin uang 25 juta saat ini buat beli Macbook baru, huhu…

Laptop yang gw pakai untuk segala macam adalah Macbook Pro late 2011 yang gw beli secondhand dari kakak gw di akhir tahun 2014 (note: ke kakak sendiri aja gw beli, kakak macam apa coba, haha). Specsnya, Macbook Pro non-retina 13 inch gw ini memiliki 4 GB RAM, 512 GB HDD, dan processor 2,4 GHz dan i5. Saat itu, dia ‘megang’ banget lah ya, bangga gw makenya. Namun berhubung udah uzur dan laptop-laptop baru bermunculan, dese jadi gak sanggup menanggung beban hidup yang berat-berat. Padahal, kerjaan gw sekarang lebih banyak menggunakan laptop dan membuka banyak program sekaligus kalo lagi kerja, ketimbang kerjaan gw saat masih kantoran dulu.

Gw membutuhkan program-program untuk design seperti Adobe Creative Suite, edit video sih gak sering-sering amet tapi ada juga tiap bulan buat video Youtube gw dan kalo bikin video pitching. Padahal gw cuma pake iMovie doank, tapi lamanya ampun gw mah. Belum lagi masalah ketidakmampuannya membuka Adobe Illustrator dan Photoshop di saat bersamaan. Well, ya bisa sih tapi dia butuh waktu ngeload lama banget buat make toolsnya. Jadi kerjaan gw yang seharusnya bisa 2 jam, bisa makan waktu 2x lipat, belum lagi emosi jiwa yang disebabkannya. Dulu gw butuh waktu sampe 1 menit buat buka Adobe Illustrator dan proses ngegambar pun nge-lagg abis. Tua gw nunggunya.

Setelah browsing harga Macbook baru, aku hanya bisa membisu. Selalu aja ini perusahaan kasih harga yang membuat gw menangis bombay, tapi mau gimana lagi, kualitas produknya emang bagus dan membuat gw ketergantungan dengan standarnya. Setelah sekian lama memakai Macbook, rasanya gw gak bisa lagi menatap layar Windows yang membuat mata gw sakit (haha, belagu pisan! Tapi coba lah tanya yang udah pake Mac pasti ngerti!). Macbook gw emang tua, tapi keyboard Apple itu emang ‘crisp’ banget dan trackpadnya the best.

Kemaren gw sempet minjem HP Yoga book yang temen gw beli seharga 11 jutaan (belom termasuk Office), dan aduuuhhh layarnya membuat gw gak ngerti ini warna apa sebenarnya, trackpadnya juga ngesot-ngesot alias gak presisi. Gw juga udah terbiasa dengan finger functionnya Mac yang membuat gw gak membutuhkan mouse. Kalo ke mall, gw cobain laptop-laptop lain yang ada di display toko-toko, tetep aja gak ada yang bisa ngalahin Macbook–kecuali Del yang di kisaran harganya 30 juta itu (in my opinion, hehe). So, gw mantap untuk gak membeli laptop baru selain Mac walaupun harganya jauh lebih murah, masalahnya, kalo kualitasnya seperti itu, buang duit 10 juta juga sayang kan…

Macbook Pro yang baru juga terkenal bikin miskin karena gak kompatibel dengan banyak barang dari kelas menengah, contohnya, ya harus beli wireless headset lah, mana plug USBnya cuma ada satu, etc.

Alternatively, hal yang bisa gw lakukan adalah upgrade Macbook gw dari HDD menjadi SSD. Setelah membaca banyak review pengalaman orang-orang upgrade, gw jadi semakin mantap. Gw estimasikan untuk upgrade ke 512 GB dan RAM 8 GB juga gak akan memakan lebih dari 7 juta.

Berhubung lagi di Jakarta saat itu, gw menyempatkan untuk upgrade SSD dan gw rekomendasiin banget ke tempat service Mac ini karena mereka spesialisasi Mac, servicenya baik dan mereka gak sembarangan nyodorin barang kayak di tempat-tempat lain. Gw sempet survey lho di beberapa toko lain, dan mereka kasih gw produk lain yang padahal sebenernya gak kompatibel, karena mereka cuma sales, bukan teknisi, jadi mereka sembarang ngomong asal barang laku. Kalo di ABA Repair, kita berhubungan langsung sama teknisinya. Apalagi untuk Macbook tua kayak gw ini, nyari tipe RAMnya susah banget dan harus order dulu. Gw lebih percaya pendapat teknisi ketimbang sales, jadi gw mantap di AA Repair aja.

Sayangnya saat itu SSD merk Samsung yang 512 GB gak ada, udah dicari2 ke toko-toko lain di Jakarta, sedangkan gw di Jakarta hanya beberapa hari. Jadi gw hanya membeli yang 256 GB aja, nanggung sih ya, tapi toh HDD yang 512 masih ada dan gw beliin casingnya seharga Rp 150ribu buat jadi external HD. Gw menghabiskan uang sebanyak 2,2 juta untuk SSD dan 1,5 juta untuk RAM 8GB merk Corsair, sudah termasuk install Office dan Adobe Creative Suite versi terbaru dan OS Sierra.

Tadinya gw cuma mau upgrade SSD aja, tapi rasanya nanggung karena RAMnya susah nyarinya, dan ya mumpung ketemu (2 hari setelah gw upgrade SSD baru nemu), jadi gw beli aja sekalian. Katanya sih, kalo untuk mengurangi waktu lagg, upgrade SSD aja udah cukup membuat laptop kita jadi kebut banget, dan kalo gak sering membuka aplikasi edit video, RAM 4 GB pun cukup. Tapi karena gw sering buka banyak aplikasi sekaligus, jadi gw memutuskan buat upgrade RAM sekalian.

Hasilnya, sangat-sangat memuaskan!! Gak nyesel gw ambil keputusan upgrade SSD dan RAM ini karena hanya dengan mengeluarkan uang segitu, gw merasa seperti beli laptop baru. Sepertinya umur laptop gw sudah diperpanjang dengan SSD dan RAM baru ini. Gw bener-bener takjub karena gw membuka dan menutup aplikasinya cepat banget, apalagi yang gw pakein Adobe Photoshop CC 2019, sebelumnya, gw pake CC 2017 dan itu aja keok laptop gw, haha. Buat yang merasa Macbooknya sudah lansia, jangan langsung di buang dan beli baru, mendingan upgrade SSD aja di tempat yang terpercaya 😀 .