Pengalaman Natal Pertama Saya

10660190_10205112321153064_1609364509744463560_n

Masalah mengucapkan selamat natal atau memakai atribut perayaan keagamaan agama lain adalah masalah yang tak kunjung usai perdebatannya. Foto di atas di ambil pada malam natal tahun 2015. Namun saya memposting foto tersebut agak lambat di social media, ketika saya upload di soc-med, reaksi teman-teman di sos-med sesuai prediksi saya. Di inbox saya penuh hujatan, pertanyaan, ceramah ustadz/ah dadakan (padahal dulunya negor juga gak pernah), ada yang menelpon, sampe ada yang nge-remove pertemanan segala. Katanya mereka kecewa melihat saya yang tadinya berjilbab sampai membuka aurat dan bertoleransi kebablasan, mendekatan diri kepada api neraka, dan bla-bla-bla whatsoever. Foto tersebut membuat saya mendapat message yang mengecap saya sebagai penista agama lebih dulu daripada seorang mantan gubernur ibukota.

Untungnya saya bukan gubernur, jadi mau saya bereaksi dengan diam pun juga tidak masalah. Saya tidak memberi penjelasan kepada semua yang bertanya kenapa, toh apa gunanya juga sesuatu yang personal perlu diklarifikasi, saya ini kan bukan politisi. Apalagi kalo saya tahu dari awal mereka sudah menutup niat untuk diskusi.

Di foto, saya hanya terlihat berdiri di antara dekorasi natal di sebuah kafe di kota Bandar Lampung. Yang tidak bisa dijelaskan dari foto tersebut adalah bahwa saya tidak hanya berfoto dengan dekorasi natal hari itu, saya pergi ke gereja katedral pagi harinya bersama dua teman non-muslim saya, satunya beretnis Tionghoa, satunya Jawa. Saya pergi ke katedral di hari Natal bukan untuk merayakannya atau malah misi keagamaan yang lain (apalagi kalo sampe bawa bom), saya datang dengan niat yang sama seperti saya datang ke Candi Borobudur dan Prambananan yang merupakan tempat peribadatan agama lain. Tapi kok gak ada yang heboh menghujat ya kalo fotonya di Borobudur?

IMG_9935

Saya di Prambanan. Lantas saya Hindu?

Saya datang tidak hanya sampai depan pagar, tapi saya masuk dan duduk di dalam untuk beberapa saat sebelum prosesi dimulai, lalu saya keluar, sebenernya saya mau duduk di dalam dan melihat prosesi seutuhnya, tapi saya lihat ada jemaat yang bingung mencari bangku yang sudah penuh, rasanya mereka lebih pantas mendapatkan kursi daripada saya.

Gereja Katedral ini berlokasi di tengah kota Bandar Lampung dekat stasiun Tanjung Karang dan terminal Ramayana. Di seberang katedral tersebut pas berdiri sebuah masjid. Mobil kami diparkir di lapangan parkir di sebelah masjid. Sewaktu kami menyebrang ke gereja, kami dibantu dengan pak polisi dan warga di sekitar sana yang memakai baju koko dan peci. Kebetulan natal tahun itu jatuh di hari Jumat, mungkin maksudnya mereka mau langsung shalat Jum’at. Melihat pak polisi dan warga muslim yang membantu keberlangsungan peribadatan umat Kristiani, saya terharu sekali. Saya fikir indah sekali Indonesia ini, setidaknya di Tanjung Karang, walopun saya juga agak bingung sih kenapa ada polisi.

Lebih kaget lagi saya waktu akan memasuki gereja katedral saya melihat antrian untuk security check seperti di bandara, tapi lebih diperketat. Seriously?? Security check buat masuk ke rumah ibadah?? 25 tahun saya merayakan hari besar agama Islam di masjid atau tanah lapang, setahun ada 2 kali hari raya, belum lagi shalat tarawih, tapi saya gak pernah merasakan security check segala, apalagi cuma di kota kecil seperti Bandar Lampung ini. Mungkin kalo di masjid raya seperti Istiqlal Jakarta ada, tapi saya belum pernah merayakan hari raya di sana. Saya berfikir, apakah sebegini merasa terancamnya umat ini bahkan untuk beribadah pun mereka merasa gak tenang.

Rasanya miris ya, saya yang merupakan bagian dari mayoritas bisa beribadah dengan tenang namun teman-teman saya yang minoritas ternyata ini ya yang mereka hadapi. Padahal kita hidup di kota yang sama, negara yang sama, di bawah hukum yang (seharusnya) sama.

Lalu saya tanya ke teman saya yang berumur 15 tahun lebih tua dari saya dan seorang ibu dari 3 anak perempuan yang lucu-lucu, “Apa cuma hari natal ada security check begitu?”

“Gak juga, kadang tergantung musim. Kalo lagi ada bom di kota lain, kita disini juga dikawal polisi begitu walopun hari Sabtu/ Minggu biasa.” Jawabnya

“Terus kenapa masih ke gereja?”

“Ya karena gua bersyukur dengan apa yang dikasih Tuhan. Sama kayak kenapa orang tua lo pergi ke masjid.”

“Gak takut?”

“Ya takut lah” teman saya yang satunya lagi menimpali, “Kita ini bingung, kalo lagi berdoa, pingin khusyuk tapi was-was. Kenapa sih kok kitaorang dibom?”

“Iya, gua ini pingin anak-anak gua juga belajar beribadah ke gereja, tapi bayangin kalo lo jadi seorang ibu, lo lebih takut anak lo kenapa-kenapa ketimbang diri lo sendiri.”

Ya ampun… Bahkan ibu saya pun tidak pernah harus memikirkan itu kalo pergi ke masjid bersama keluarga. Terlalu lama mungkin saya hanya terfokus ke kenyamanan diri saya sendiri jadi gak pernah bertanya apakah teman saya sendiri merasa aman. (jangan tanya nyaman dulu deh, aman aja belom tentu).

Saya duduk di dalam gereja, tidak hanya mengamati dalam ruangannya yang ternyata hanya seluas masjid di kecamatan rumah saya dulu, tapi saya terfokus ke ekspresi tiap-tiap orang. Muka-muka yang berbahagia, bersyukur. Sebenarnya ekspresi mereka adalah eskpresi-ekspresi yang sama saya temukan ketika lebaran, semuanya sama-sama bahagia, sama-sama bersyukur. Ambience yang saya rasakan pun sama. Terlepas dari perbedaan keyakinan, semuanya sama; sama-sama ingin bahagia.

Saya menengok ke bangku belakang, ada seorang ibu-ibu seumur ibu saya yang matanya berkaca-kaca air mata, saya tanya, “Kenapa Ibu menangis?”. Beliau jawab, “Karena saya bersyukur masih bisa merayakan natal tahun ini.” Dhegg. Tersentuh benar hati saya karena kata-kata yang sama juga kerap saya temukan di suasana Idul Fitri dan Idul Adha. Perbedaannya hanya objek, natal dan lebaran. Saya lihat ibu itu hanya sendiri ke gereja, mungkin beliau sama seperti ibu saya yang beberapa kali merayakan idul adha sendiri ke masjid karena kedua anaknya sedang di rantau dan suaminya sudah tak sanggup lagi berjalan. Saya lihat ke lain arah, ada laki-laki dan perempuan seumuran saya dan kakak saya. Mungkin mereka adalah seperti saya yang kerap kali ber-Idul Adha sendiri di rantau. Di arah lain saya lihat ada bapak-bapak dengan kursi roda, seperti ayah saya yang begitu semangatnya memaksakan diri untuk pergi ber-Idul Fitri. Bapak itu menangis menyebut nama Tuhannya seraya bersyukur, padahal acara dimulai juga belum. Benar-benar persis apa yang ayah saya lakukan beberapa tahun yang lalu. Saya lihat anak-anak kecil yang didandani orang tuanya, mirip dengan adik-adik dan keponakan saya. Mereka memang muka-muka orang-orang yang asing, tapi suasana ini tidak asing. Saya memandang mereka tapi di kepala saya, saya ganti wajah mereka dengan wajah orang-orang yang selalu bersama saya saat lebaran. Begitu mudahnya untuk menyayangi orang lain jika kita lebih melihat persamaan daripada terfokus ke perbedaan.

Berulang-ulang kali saat itu saya berbicara dalam kepala saya tentang tiga hal:

  1. Kenapa selama ini kita terlalu sering diajarkan bahwa kita berbeda padahal kita semua sama, sama-sama ingin bahagia.
  2. Kenapa mereka gak mengajarkan bahwa kita sama? Kenapa? Kenapa??
  3. Mana sih yang lebih membuang-buang energi, memprovokasikan perbedaan atau melihat ke persamaan?

Pertanyaan tentang kenapa dan kenapa terus berulang di kepala saya. Momen itu membuat saya ingin menangis dan mata saya berkaca-kaca tapi saat teman saya bertanya kenapa mata saya, saya bilang saya ngantuk karena semalam telat tidur. Lalu saya keluar dan duduk di warung dekat sana sementara kedua teman saya mengikuti proses keagamaan mereka.

Di warung saya duduk dengan orang-orang yang membantu para jemaat menyebrang tadi. Ada yang bertanya kenapa saya di luar dan tidak mengikuti acara, disangkanya saya Kristen karena saya memang tidak memakai identitas agama mana pun. Saya jawab saya bukan umat Kristiani, malah ditanya, “Gak takut dosa pergi natalan?” Saya tanya balik, “Tadi bapak bantuin orang-orang Kristen pergi berdoa, gak takut dosa?”. Dia jawab, “Oh, itu kan ibadah kalo kita ini sebagai umat muslim, bla… bla… bla…” si Bapak melanjutkan dengan berceramah yang di kuping saya sudah langsung tertekan tombol mute.

Prosesi berlangsung kurang lebih dua jam. Karena natal tahun itu jatuh di hari Jumat, jadi masjid yang berada di seberangnya menyiapkan persiapan shalat Jumat sekitar jam 11 sudah disiarkan bacaan-bacaan ayat-ayat Al-Quran melalu speaker dengan volume penuh yang tentunya terdengar sangat jelas ke gereja di seberangnya yang sedang merayakan natal. Masih lama gak ya acara natalnya? Tanya saya dalam hati karena saya gak tahu acara natal itu biasanya berapa lama. Mau pergi ke tempat lain pun, pada masih tutup dan kunci mobil sama teman saya di dalam.

Sekitar 20-30 menit akhirnya saya lihat jemaat sudah mulai keluar. Lalu saya ke seberang menunggu teman-teman saya di pintu masuk katedral. Jemaat yang keluar tampak berbahagia lalu mereka menyelamati sesamanya. Saya yang saat itu hanya berdiri menunggu teman-teman saya juga diselamati oleh para pengunjung yang tidak sengaja setatapan mata dengan saya. Saya biarkan mereka dengan anggapannya, toh mereka hanya bilang selamat. Selamatnya selamat apa ya tidak jelas, dan tergantung saya menginterpretasikannya bagaimana.

Saya mengambil momen hanya untuk berdiri melihat orang-orang yang lalu lalang di sekitar saya, hanya untuk merasakan lagi perasaan yang sama sebelum prosesi di mulai tadi.

Lalu saya bertemu teman-teman saya dan kami menyeberang ke parkiran dibantu oleh orang-orang tadi namun kini mereka semua memakai pakaian koko lengkap dengan peci karena waktu shalat Jum’at semakin dekat. Bayangkan, orang-orang dengan identitas agama Islam membantu orang-orang keluar dari gereja yang di lehernya ada kalung salib. Saya berdecak kagum dalam hati, indah benar rasanya. Ketika kami sampai di mobil dan keluar parkiran, ada petugas parkir yang entah lah resmi atau tidak, tapi dia memakai baju koko dan peci, lalu orang tersebut meminta uang parkir ke teman saya saat kami keluar. Teman saya memberikan uangnya. Begitu juga mobil-mobil yang lain.

Saat baru keluar, saya berkata kepada dua teman saya, “Keren ya orang-orang sini yang muslim pada bantuin ngejagain natalan.”

Lalu teman saya yang menyetir menjawab, “Yailah harus ngebantu, lo gak tau berapa juta bapak gw harus bayar tiap natal ke mereka buat kayak gini doang?? Tiga juta! Itu belom biaya yang lainnya.” Teman saya yang beretnis Jawa itu kedua orang tuanya aktif dalam kegiatan gereja, ibunya yang seorang pengusaha sukses housing dan bedding décor memberikan pelatihan keterampilan bagi wanita-wanita di persatuan gereja di daerah-daerah marginal di Lampung dan ayahnya adalah pengurus aktif persatuan umat Kristiani di Lampung.

Teman saya yang lain menimpali, “Yaiyalah, mana bisa kitaorang berdoa kalo gak bayar. Mana mungkin nolongin kalo gak ada uangnya.”

Saya benar-benar kaget, “Seriusan lo?”

“Apa lo mau liat kwitansi-kwitansinya ke rumah gua sekarang?”

Lalu untuk beberapa menit teman-teman saya bercerita dengan lebih detail tentang hal tersebut dan retrospektif ke natalan tahun-tahun sebelumnya. Saya terdiam. Mendengar hal itu, gambaran yang tadinya kedamaian saling tolong menolong yang indah tersebut retak tinggal puing di kepala saya. Perasaan saya bercampur aduk, malu semalu-malunya, mual, jijik, marah, benci, sakit hati, kecewa, emosi dan lain-lain yang secara literal saya benar-benar ingin muntah saat itu.

Untuk berdoa umat ini harus bayar?? Apa kita yang mayoritas pernah bayar pas lebaran?

Mereka yang membantu kami menyebrang tadi dan memakai peci dan baju koko, sudah dapat bayaran tapi masih saja tanpa malu meminta uang parkir??

Yang tadi bicara tentang ibadah, surga dan neraka?? Yang tadi bertanya apakah saya gak takut dosa?? Lalu yang mereka lakukan lebih suci dari dosa??

What the fuck is this shit?!!!

Berbulan-bulan setelah itu setiap kali saya melewati daerah itu (yang mana hampir tiap hari), saya mual dan terbayang-bayang kejadian natal saat itu. Rasanya ingin cepat-cepat saja melewati daerah itu, tapi sial benar kawasan itu adalah salah satu kawasan teramai di kota Bandar Lampung sehingga kendaraan saling merayap dan saya harus tersiksa dengan perasaan mual lebih lama.

Aneh benar kita ini benar-benar aneh. Lucu benar kita ini benar-benar lucu.

Mencemooh umat lain yang dianggap berkata salah, tapi sendirinya membiarkan umat sendiri melakukan kriminalitas menahun. Padahal ada masjid disitu. Ada khotbah Jumat tiap minggu disitu. Ada imam dan umat yang shalat berjamaah tiap hari disitu, sehari lima kali. Tapi apakah ada yang menegur, menceramahi, menghentikan praktek-praktek seperti ini? Seberapa sering hal ini dibahas dalam ceramah? Seberapa sering pembahasan kafir lebih sering dibahas dalam ceramah?

Kenapa yang ribut berkoar-koar tentang membela agama gak menyebut tentang hal ini? Apa karena ketidakadilan ini tidak terjadi ke diri kita jadi kita bisa biarkan saja? Kalo yang melakukan minoritas, semua disangkutpautkan ke agama, kalo yang melakukan mayoritas, mereka bilang ini bukan masalah agama. Jadi apa agama mu gak bicara tentang keadilan?? Coba tanya ke diri masing-masing, berapa kali kita pernah menatap dan bertanya ke teman kita yang minoritas, “Apa keluhan kamu yang bisa saya bantu?” Berapa kali? Sudah berapa kali? Bandingkan dengan berapa kali kita memikirkan diri dan kaum sendiri. Kadang saya berfikir mungkin saya ini hanya sekedar hoki aja kebetulan lahir di negara ini dan jadi bagian dari mayoritas, jadi saya gak harus bayar kalo lebaran, gak harus pake security check karena takut dibom.

Ada masjid disitu. Ada khotbah Jumat tiap minggu disitu. Ada imam dan umat yang shalat berjamaah tiap hari disitu, sehari lima kali. Aneh benar kita ini benar-benar aneh. Lucu benar kita ini benar-benar lucu.

67c94a70710a366a770ef0055657cf3b

 

26 thoughts on “Pengalaman Natal Pertama Saya

  1. artikelnya kok tendensius sekali ya? kesannya semua muslim di indonesia intoleran semua?! yang baju koko plus pake peci yang bantuin nyebrangin orang dan markirin kendaraan bisa aja dari ormas ………….. sama2 tau aja….P*m*d* p****sil* ato akamsi …mungkin dan sejenisnya…..saya berani jamin 100% tidak ada ormas islam yang sampe segitunya cari duit…

    last but not least… judging someone elses not make you a better person either….

    Like

      • i’m definetely a horrible person…yeah im judging you by the way, but you need to straighten things up …. post the fuckn receipt will you

        Liked by 1 person

      • Thank you for your confirmation that you are a horrible person, I dont have the need to prove anything especially to people who already judge me for who I am, moreover if he/she already state that he/she is a horrible person. A waste of time. You stand on your judgement and principles, then I stand on mine.

        Like

      • what kind of world do you live in??!! you accusing a community without a proof? i need to see the truth!! even its hurt

        Like

  2. Citra, terima kasih sudah nulis ini. Aku bacanya sampe terharuuu banget. Selama ini aku di sisi minoritas merasa nggak dipedulikan, ternyata masih ada seperti kamu yang peduli dengan kami. Memang benar soal membayar itu, dulu di rumah sepupuku pasang hiasan Natal dan disuruh RT-nya copot, katanya nggak toleransi dengan umat lain 😦 tapi tahun depannya dia kasih amplop dalam rangka Natalan, hiasannya dengan bebas bisa menggantung. Contoh kecil saja.

    Dan comment yang di atas nggak usah dipedulikan. Aku baca postingan kamu pelan-pelan dan kamu nggak pernah kok bilang SEMUA… tapi dari apa yang kamu saksikan saja. Di deket rumahku, Mami dan Papi hubungannya baik dengan yang Muslim kok. Jadi nggak semuanya, walau memang ada oknum yang ambil kesempatan seperti yang di atas, teman2ku banyak yang orang Gereja jadi aku sering diceritakan.

    Like

    • Anytime, Mariska 😀 . I’m sorry that your family has to undergo such a thing 😦 .
      Banyak kok muslim yang berhubungan dan menjaga hubungan baik dengan non-muslim, contohnya orang tua aku. Tapi bedanya adalah jika orang tuaku tau cara menggunakan internet dan membaca tulisan ini, mereka akan marah, bukan marah karena isinya, tapi marah karena saya berani menyuarakannya, mereka takut nanti aku dikucilkan oleh sesama mayoritas, “Ngapain kamu cari masalah, Citra?”Mungkin banyak bagian dari mayoritas yang berfikiran sama seperti orang tua ku, tapi menurut aku, dengan tidak mengganggu saja tidak cukup, masak iya dengan sudah adanya internet, punya mulut punya otak punya jari, menyuarakan aja kita gak bisa? Toh aku bukan cari masalah, karena masalahnya itu memang sudah ada. But nobody talks about the elephant in the room.

      Like

  3. kasihan ya. Dulu pakai jilbab sekarang ngumbar aurat. Lalu sekarang mengkritik umat muslim sesama saudara sendiri seperti sudah merasa paling benar. Pergi ke gereja memang tidak berdosa, tapi itu dilarang mencegah kontaminasi ‘pikiran’ yg mungkin timbul dari peribadatan disana. kalau iman kuat sih gpp, ini iman mu masih dipertanyakan. dulu menutup aurat sekarang mengumbar aurat. lalu apa lagi nanti? berfikir moderat sij boleh saja. tapi jangan tendensius apalagi terhadap agama sendiri. jangan seperti sudah merasa jadi yg paling benar. jangan samakan pikiran semua orang dg pikiranmu..

    Like

  4. Mending kalau ga ada kompetensi di bidang yang menyangkut agama. Ga usah bikin artikel tendensius. Bikin cerpen aja atau puisi. Kirim ke koran kalau biaa terbit dapet duit. Ini malah dulu pake jilbab sekarang ngumbar aurat, bikin artikel tendensius berbau agama. Kasihan… Kembaliah ke jalan yang benar saudaraku..

    Like

    • wahai saudsraku yang bukan siapa siapa, kalau memang mau menasehati dan merasa lebih tau dari yang bikin tulisan ini. misalnya anda pernah beribadah di palestina dan burma, mungkin bisa tolong tunjukkan niat baik anda, paling tidak dengan menunjukkan siapa anda, bukan cuma dengan melepaskan diri dengan bukan siapa siapa..

      atau anda takut, kalau nantinya apa yg anda katakan akan berbalik menyerang anda?

      Kaburamaktan…..

      silahkan lanjutkan sendiri, saya yakin anda lebih tau

      masih tentang potongan ayat diatas, paling tidak, di tulisan ini penulis mengatakan apa yang dia kerjakan, apa yang dia lihat sendiri.?

      saya tidak melihat dia sok tau tentang agama, saya tidak melihat dia berfatwa, memlintir ayat, sekali lagi dia bicara soal apa yang dialaminya sendiri, kalau ditempat anda tidak demikian ya anda tidak bisa protes donk kalo dia berani BICARA REALITA yang dia lihat di sekitarnya.

      pertanyaannya? apakah KITA sudah sampai ke level itu? atau kita masih di level apapun- yang-dilakukan-orang – yang-seagama-dengan-gue-adalah-benar?

      tidak usah di jawab. karena ini ga bakal ada habis habisnya.

      kalau kita belum kenal,, salam kenal, saudaraku.

      Like

      • Saya tidak menjawab karena anda memang tidak bertanya. Salam kenal juga Saudaraku. Ajak juga saudara penulis artikel ini kembali ke jalan yg benar. Dari pada dia mengkritik sesama saudara, lebih baik mengajak orang lain berbuat kebaikan. Pesan untuk kita semua, lebih baik persuasif mengajak ke jalan yg benar. Bukan justru mengkritik yg tendensius. Kasihan, prihatin saya. Apa yg membuat orang yg dulu sopan kini mengumbar aurat. Astagfirullah…

        Like

    • Terimakasih Bukan Siapa-siapa, I disagree with you just like how you disagree with me, BUT I will not tell you to stop having opinion or writing anything you like because I believe in democracy and both you and me have the rights to declare our opinions. One good thing about you is that when you read something, you question the credibility of the author just like you did to me, that’s good (just to clarify in case you dont get it, that’s a compliment). And the same thing applied from me to you regarding you are Bukan siapa-siapa. And I, when I read information in this era, I don’t only question the credibility of the author, but I also think more than twice about what the stuff is really about, is it about religion, politics, humanity or what?

      And you’re saying “kalau iman kuat sih gpp, ini iman mu masih dipertanyakan.”, lol, if you really believe that you really have a strong iman, you dont need to worry about this kind of writings, nobody can change anybody’s iman that easy.

      Like

    • Beginilah orang merasa paling benar. Orang lain dianggab bodoh semua. Yg pintar dia sendiri. Kembali lah ke jalan yg benar Saudaraku. Jangan ketika sudaj berada di jalan benar, malah berpaling ke yg lebih buruk.

      Like

      • soo… “hahaha, keep on going, dude! you’re so entertaining!” and “lol you’re so fricking funny!” mean “orang merasa paling benar. Orang lain dianggab bodoh semua” to you?? wow, that’s so interesting how you interpret English! Good job!

        Like

    • Beginilah orang merasa paling benar. Orang lain dianggab bodoh semua. Yg pintar dia sendiri. Kembali lah ke jalan yg benar Saudaraku. Jangan ketika sudaj berada di jalan benar, malah berpaling ke yg lebih buruk.

      Like

  5. Dear Mas/Mba Bukan Siapa-Siapa,

    Mungkin mas/mba punya niat yang baik, tapi setiap orang punya pilihan, punya pandangan, dan punya hak untuk berpendapat. Saya pun muslim, tapi saya melihat tulisan ini lebih sebagai media untuk lebih instropeksi dan evaluasi diri agar menjadi pribadi yg lebih peduli serta toleran terhadap sesama terlepas dari agama, etnis, ras, dll. Kalo saya baca dari komentar yang mas/mba tulis, mas/mba sudah pasti lah seorang muslim dan pasti mengenal KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus, bukan? Menurut beliau “Dalam mengajak kebaikan, bersikap keraslah kepada diri sendiri dan lemah lembutlah kepada orang lain. Jangan sebaliknya.” dan satu lagi “Yang menghina agamamu, tidak bisa merusak agamamu. Yang bisa merusak agamamu justru perilakumu yang bertentangan dengan ajaran agamamu.”

    Naah, agama Allah SWT menghargai manusia dan menebar kasih sayang. Karena apa, Mas/Mba Bukan Siapa-Siapa? Karena Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang. Jadi, meskipun menurut mba/mas hal itu adalah baik dan mungkin mas/mba niatnya baik, sebaiknya disampaikan dengan cara yg baik juga. Citra punya pendapatnya sendiri dan dia berhak untuk menyuarakannya, karena memang itu hal yg terjadi di dunia nyata, dia tidak mendiskreditkan semua muslim atau menjudge semua muslim berperilaku sama. Jujur, saya pun malu apabila untuk berbuat kebaikan saja harus dilandasi dengan uang, tentunya terlepas dari perbedaan agama atau tidak. Karena pada dasarnya, semua kembali ke diri masing-masing. Dan bila dunia yang mas/mba harapkan adalah sebuah dunia yang damai, tidak ada perang, tidak ada konflik, dan penuh kebaikan, maka yang diperlukan adalah berpikir positif, toleran, dan tutur kata yang bijak. Mari kita semua sama-sama belajar yaa mas/mba, karena bahwasannya manusia tidak ada yang sempurna. Kalau kita saling menghargai, inshaAllah semuanya damai…

    Semoga mas/mba tidak merasa offended dengan ucapan saya. Have a good day!

    Like

    • Satu pesanku untuk kamu, kembalilah pakai jilbab lagi. Terima kasih.

      Nerakamu memang bukan urusanku, Surga juga belum tentu jadi milikku. Tapi mengingatkanmu kepada kebaikan, adalah kewajibanku.

      Kalau kamu bertanya-tanya siapa aku, ketahuilah aku berada dekat denganmu. 🙂

      Like

    • Maen pergi aja elo Hud, ada yang minta ditanyain tuh. Gue nyimak komen sambil makan. Elo bertanya-tanya gak siapa gue? Kalo iya, ketauilah gue pingin beli jilbab seken elo.

      Like

  6. Selamat malam Mbak Citra,
    mungking Mbak tidak kenal aku, tapi kita sudah lama berteman di sosmed dari Mbak masih berjilbab sampai sekarang. Aku sempat kaget juga waktu melihat perubahan Mbak, bukan kaget dalam maksud negatif, karena itu hak Mbak. Dan aku lihat juga Mbak tidak ada yang berubah kalau dari yang aku perhatikan biar pun aku enggak kenal Mbak langsung, hanya dari sosmed. Aku baca tulisan ini pelan-pelan kok sudah yang keberapakali, aku share juga ke teman-teman yang lain di kantor, termasuk yang bagian dari minoritas, mereka bilang terimakasih. Aku dan papaku non muslim, tapi ibuku muslim, di keluarga ibuku agamanya campur-campur, cuma ibu yang muslim. Terimakasih juga dari aku.

    Jangan bawa pusing komentar-komentar yang seperti di atas, sepanjang itu tulisan ini, tetap saja ada orang-orang yang terfokus hanya di bagian mereka merasa tersinggung, padahal belum tentu juga maksudnya menyingggung.

    Di agama kami juga sering kok ada kritik tentang pemeluk agama kami (bukan tentang agamanya) dari sesama umat, menurut aku itu karena kami tidak ingin orang-orang jadi berfikiran buruk tentang agama kami hanya karena segelintir orang. Biar kami sendiri juga jangan jadi takabur.

    Mbak, aku cuma mau kasih tau, diantara orang-orang yang memarahi Mbak atas hakmu berpendapat dan atau gak bisa moveon dari jilbab Mbak, ada orang-orang seperti aku yang terharuuu bangeeet baca ini, sampe berkaca-kaca apalagi di bagian Mbak membayangkan orang-orang di sekitar menjadi orang2 terdekat kamu Mbak,,sama di bagian pertanyaan “keluhan apa yg bisa dibantu?… Kamu gak pernah bilang SEMUA kok Mbak. Ibuku muslim, kalo memang Mbak bilang semua, pasti aku sudah tersinggung juga.

    Like

    • Hi, RA, thanks for your story and support, salam buat teman dan keluarga mu. Saya juga pernah menjadi minoritas kok, diskriminasi ada bukan karena adanya perbedaan agama, ras, suku dan gender, tapi diskriminasi ada karena ignorance dan silent majority. Btw, you didnt put your full name. You can contact me through other socmed platforms if you want 🙂

      Like

  7. Tutuplah aurat mu saudara ku. Liat profil picture kamu di blog. Astagfirullah… Harusnya hanya suami mu kelak nanti yang tau tahi lalat mu itu. Astagfirullah… Tutuplah aurat mu saudara ku. Bukalah hanya untuk suami mu nanti kelak.

    Like

Leave a comment